Minggu, 30 Desember 2012

Gambaran Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik oleh Perawat pada Klien Halusinasi



Krisis multi dimensi telah mengakibatkan tekanan berat pada sebagian besar masyarakat dunia umumnya dan Indonesia pada khususnya, masyarakat yang mengalami krisis ekonomi tidak saja akan mengalami gangguan fisik, terserang berbagai penyakit infeksi, tetapi juga dapat mengalami gangguan kesehatan psikiatri, yang pada akhirnya mengalami penurunan produktifitas kerja, kualitas hidup secara nasional, negara telah dan akan kehilangan generasi sehat yang akan meneruskan perjuangan dan cita-cita bangsa (Hawari 2001).
World Health Organization (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai suatu keadaan sempurna baik fisik, mental, sosial tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan. Yang dimaksud keadaan sempurna mental adalah keadaan yang sempurna secara biopsikososial, dan seseorang yang sehat mental dapat menyesuaikan diri secara konstruktif dengan kenyataan, memperoleh kepuasan dalam usaha/ perjuangan hidup, lebih puas memberi daripada menerima, bebas dari kecemasan/ ketegangan, berhubungan dengan orang lain: tolong menolong dan saling memuaskan, menerima kekecewaan sebagai pelajaran, mengerahkan rasa permusuhan menjadi penyelesaian kreatif dan konstruktif, dan mempunyai rasa kasih sayang yang besar (Hadiseputro, 2002).
Data yang diperoleh Badan Kesehatan Dunia menunjukkan 10 % dari populasi penduduk dunia membutuhkan pertolongan atau pengobatan bidang kesehatan jiwa/psikiatri. Bahkan menurut Studi World (2003) dibeberapa negara 8,1% dari penyakit akibat beban globalisasi (global burden disease) disebabkan oleh masalah kesehatan jiwa (Rasmun, 2001).
Menurut Undang-undang Kesehatan RI No 23 tahun 1992, sehat didefinisikan sebagai keadaan sejahtera dari badan jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Masalah sosial ekonomi yang dihadapi akan berdampak secara khusus pada kehidupan keluarga/ masyarakat, seperti pembagian peran suami istri, pengasuhan serta pendidikan.
Berkaitan dengan kompleksnya masalah yang dihadapi, memungkinkan memberi dampak negatif terhadap kesehatan mental. Masalah kesehatan mental yang timbul dapat diakibatkan oleh kondisi fisik, sifat pembawaan atau dapat disebabkan oleh faktor lingkungan seperti kondisi keluarga, lingkungan sekolah, pola pengasuhan dan lain-lain. Salah satu gangguan yang dapat muncul akibat kondisi-kondisi tersebut adalah gangguan jiwa; Skizofrenia (Nelson S. 1996 : 185).
Hasil Survei Kesehatan Mental Rumah Tangga (SKMRT) tahun 1995 yang dilakukan oleh jaringan epidemiologi psikiatri Indonesia menemukan 185 dari 1000 penduduk menunjukkan gejala gangguan jiwa. Hal ini berarti bahwa tiap rumah tangga mempunyai satu gangguan jiwa, mulai dari yang paling ringan hingga yang paling berat tingkat ganggaun kesehatan jiwanya. Dari sekian banyak masalah kesehatan jiwa, masalah yang dirasakan cukup berat dan memiliki prevalansi cukup tinggi dibanding kesehatan jiwa lainnya adalah masalah skizofrenia (Ilmawati dan Muslim, 2004).
Pada skizofrenia terdapat gejala-gejala berupa gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif terdiri dari waham, perilaku halusinasi, kekacauan proses pikir, gaduh gelisah, waham grandia, kecurigaan dan permusuhan. Gejala negatif meliputi afek tumpul, kemiskinan laporan, penarikan emosional,  penarikan diri dari hubungan sosial secara pasif/ apatis, kesulitan dalam pemikiran abstrak, kurangnya spontanitas dan arus percakapan serta pemikiran stereotip.
Skizofrenia memerlukan penanganan dari berbagai pelayanan terutama pelayanan keperawatan. Sebagai konsep tindakan keperawatan yang telah dikembangkan oleh para ahli adapun tindakan-tindakan keperawatan tersebut adalah tindakan yang berdasarkan permasalahan bio-sosio-spiritual, tindakan keperawatan tersebut juga terkait erat adanya komunikasi terapeutik antara perawat dan pasien (Keliat BA, 2002)
Hubungan antara perawat dengan pasien lebih dari sekedar mutual partnership. Hubungan ini merupakan sebuah proses dimana perawat sebagai helper (penolong) mengintervensi kehidupan pasien dan membantu pasien untuk meningkatkan kualitas hidupnya (Potter dan Perry, 1993).
Abraham (1997) menyatakan bahwa semua interaksi melibatkan komunikasi. Stuart dan Sundeen (1995) juga menyatakan bahwa dalam menjalin hubungan terapeutik (berinteraksi) dengan pasien diperlukan komunikasi, karena komunikasi adalah hubungan itu sendiri, dimana tanpa komunikasi tersebut hubungan tidak mungkin terjadi. Komunikasi adalah sarana yang sangat efektif dalam memudahkan perawat membangun suatu interaksi dengan pasien sehingga dapat melaksanakan peran dan fungsi dengan baik (Stuart dan Sundeen:1995)
Dengan adanya komunikasi terapeutik antara perawat dan pasien halusinasi yang merupakan prinsip dasar dalam merawat pasien, dimana perawat senantiasa memberikan stimulus verbal dan non verbal yang konstruktif dalam berhubungan dengan pasien. Dalam hubungan ini perawat memakai diri sendiri dan tekhnik pendekatan yang khusus dalam bekerja dengan pasien untuk memberikan pengertian dan merubah perilaku pasien dan mambantu pasien untuk mengungkapkan permasalahan yang ada pada diri pasien dan mampu menetapkan serta menguji realias. Berkaitan dengan penerapan tahapan komunikasi terapeutik, tenaga keperawatan telah memahami dan mampu menerapkan tahap-tahap proses komunikasi terapeutik kepada klien gangguan jiwa.


selengkapnya download disini: BAB I      BAB II     BAB III     BAB IV

Selasa, 25 Desember 2012

Teh dan Madu Bakalan Menggantikan Antibiotik




Fenomena resistensi kuman terhadap antibiotik yang kian mengkhawatirkan kembali disuarakan para pakar kesehatan. Resep pengobatan tradisional seperti teh dan madu dipersiapkan sebagai salah satu solusi alternatif dalam mengatasi kuman yang semakin kebal terhadap obat-obatan.

Penggunaan antibiotik yang tidak rasional dan berulang-ulang merupakan penyebab terbesar suatu jenis bakteri menjadi resisten terhadap obat. Pakar kedokteran menyebut fenomena yang mengkhawatirkan ini dengan istilah “arms race”.

Ketidakmampuan suatu obat antiobiotik mengatasi bakteri kini menjadi momok setelah ditemukannya antibiotik pada tahun 1940-an. Kehadiran antibiotik sempat menjadi solusi yang efektif dalam mengobati penyakit yang disebabkan oleh bakteri. Namun ketika bakteri sudah menjadi resisten terhadapnya, dibutuhkan alternatif lain yang dapat membuat pengobatan menjadi kembali efektif.

Prof. Les Baillie, dari Cardiff University Inggris menyatakan, bukan mustahil dunia akan kembali ke suatu masa dimana belum ditemukan antibiotik, sehingga pengobatan sejenis penyakit menjadi permasalahan besar.

Oleh karenanya, para ilmuwan kini sedang mengupayakan membuat suatu sulosi alternatif ketika bakteri sudah menjadi resisten terhadap antibiotik. Baillie saat ini mengetuai tim riset untuk mencari tahu apakah obat kuno seperti teh dan madu dapat menjadi cara berikutnya sebagai obat yang paling efektif mengobati penyakit.

Teh diketahui mengandung suatu senyawa yang dinamakan polifenol yang memiliki kemampuan membunuh mikroorganisme.

Tim peneliti yang dipimpin Baillie telah menemukan, teh mampu untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh Clostridium difficile, bakteri yang bertanggung jawab untuk setidaknya 2.000 orang tewas dan lebih dari 24.000 kasus infeksi tahun lalu.

Rhidian Morgan-Jones, seorang ahli bedah dari Cardiff, mengatakan bahwa ada kekhawatiran nyata tentang masa depan dunia kedokteran saat antibiotik tidak lagi dapat digunakan.

Prof. David Livermore, dari Badan Perlindungan Kesehatan Inggris, bulan lalu memberi peringatan, operasi besar dan penanganan kanker akan menjadi lebih berbahaya lagi. Penggunaan antibiotik kemungkinan hanya akan bisa dilakukan untuk 10 tahun ke depan.

Perkembangan dunia kedokteran modern seperti perawatan intensif dan transplantasi organ akan berada di bawah ancaman tanpa antiobiotik. Oleh karenanya, segera dibutuhkan pengganti antibiotik.


Sumber : Kompas

Jumat, 21 Desember 2012

Gambaran Pengetahuan dan Sikap Ibu Tentang Penyakit Diare

ABSTRAK

Gambaran Pengetahuan Dan Sikap Ibu Tentang Penyakit Diare Pada Balita Di Desa Lumpatan Kecamatan Sekayu Kabupaten Musi Banyuasin Tahun 2010


(xvii + 54 halaman+ 5 tabel+ 1 skema + 6 lampiran)


Diare masih merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak-anak di berbagai negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Di Indonesia di laporkan terdapat 1,6 sampai 2 kejadian diare per tahun pada balita, sehinggan secara keseluruhan diperkirakan kejadian diare pada balita berkisar 40 juta setahun dengan kematian sebanyak 200.000-400.000 balita. Berdasarkan hasil rekapitulasi data DKP Sumsel jumlah penderita diare pada tahun 2007 berjumlah 48.000 penderita dan pada tahun 2008 terhitung per januari hingga 31 September 2008 penderita diare mencapai 143.822 jiwa. Sedangkan untuk wilayah Kabupaten Musi Banyuasin pada umumnya dan di wilayah kerja Puskesmas Lumpatan Kecamatan Sekayu khususnya jumlah penderita diare mencapai 1.335 jiwa dan 619 diantaranya adalah balita di sepanjang tahun 2009. Banyak faktor yang mempengaruhi tingginya angka tersebut, diantaranya adalah pengetahuan dan sikap ibu.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran dan sikap ibu tentang penyakit diare pada balita di Desa Lumpatan Kecamatan Sekayu Kabupaten Musi Banyuasin. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan meggunakan tehnik purposive sampling. Data yang digunakan adalah data primer dengan menggunakan kuesioner dan data sekunder yang diperoleh dari instansi kesehatan terkait. Responden yang diteliti adalah ibu-ibu yang memiliki balita yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas Lumpatan Kecamatan Sekayu Kabupaten Musi Banyuasin. Waktu pelaksanaan penelitian selama 6 minggu (12 April – 21 Mei 2010).

Hasil penelitian yang diperoleh bahwa sebanyak 45 orang (52,3 %) responden memiliki pengetahuan yang tinggi, sebanyak 34 orang (39,5%) responden memiliki pengetahuan sedang dan sebanyak 7 orang (8,1%) responden memiliki pengetahuan yang kurang, sedangkan responden yang sudah bersikap positif terhadap penyakit diare sebanyak 81 orang (94,2%) dan responden yang sudah bersikap negatif terhadap penyakit diare sebanyak 5 orang (5,8%).

Saran yang dapat diberikan setelah penelitian dilakukan adalah pemberian penyuluhan oleh petugas puskesmas baik secara individual atau kelompok melalui peran serta aktif masyarakat, dan perlu adanya penelitian lebih lanjut terhadap berbagai faktor lainnya yang mempengaruhi kejadian diare pada balita.


Daftar Pustaka : 23 (2000-2010)

          Selengkapnya download di sini:  
1. BAB I    2. BAB II     3. BAB III     4. BAB IV

Kamis, 20 Desember 2012

Prosedur Pemasangan infus



sumber: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhX7lpjYcA-Uh8Q071lh8d-68Ec8laXpuyLbmbUTb2K9eGxwKqO10Gs9REttINYgHznOGfz-jC5TMXr6XPK6jxWEm8thzGhRpFDeoYJuSRE5gTIzmIDap0lOj44uJvryoyy-5ordi-9q00/s1600/Pasang+infus+yang+benar.jpg


Pengertian Memasang Infus
Memasang infus merupakan salah satu cara pemberian terapi cairan melalui pembulih darah vena dengan cara memasukkan jarum abocath ke dalam pembulih darah vena.
Tujuan Memasang Infus:
  • Mempertahankan atau menganti cairan tubuh yang hilang
  • Memperbaiki keseimbangan asam basa di dalam tubuh
  • Memperbaiki komponen darah
  • Tempat memasukkan obat atau terapi intra vena
  • Rehidrasi cairan pada pasien syock
Persiapan Alat:
  • Kapas alkohol
  • Infus Set
  • IV catheter  (abocath) sesuai ukuran
  • Cairan Infus sesuai pesanan
  • Toniquet
  • Sarung tangan bersih
  • Pengalas/perlak
  • Kapas steril
  • Plester
  • Spalk (untuk anak-anak)
  • Kassa gulung (untuk anak-anak)
  • Bengkok
Prosedur Kerja:
1.      Melakukan verifikasi program pengobatan
2.      Mencuci tangan
3.      Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada keluarga/pasien
4.      Mengecek tanggal kadaluarsa: infus, selang infus, catheter vena.
5.      Menusuk saluran infus dengan benar ( jangan diputar ).
6.      Menggantung cairan infus dan mengisi tabung reservoar sebanyak duapertiga bagian /sebatas tanda hingga tidak ada udara dalam selang.
7.      Atur posisi pasien, pasang pengalas, selanjutnya pasang toniquet 5cm dari area insersi.
8.      Lakukan tindakan aseptik dengan kapas alkohol 70% pada vena yang telah dipilih untuk ditusuk dan biarkan selama 15-20 detik
9.      Pertahankan vena pada posisi stabil dengan menekan dan menarik bagian distal vena yang akan diinsersi dengan ibu jari
10.  Menusuk vena dengan sudut 30 derajat dan lubang jarum menghadap ke atas
11.  Setelah dipastikan jarum masuk, turunkan posisi jarum 20 derajat dan tarik mandrin 0,5 cm, masukan catether secara perlahan.
12.  Lepas torniquet dan masukan catheter secara perlahan, sambil menarik jarum keluar
13.  Alirkan infus, selanjutnya lakukan fiksasi antara sayap dan lokasi insersi tanpa menutup lokasi insersi
14.  Letakkan kapas  steril di atas area  insersi.
15.  Lepaskan sarung tangan
16.  Lakukan fiksasi dengan plester (untuk pasien anak-anak beri spalk pada telapak tangan kemudian balut dengan kassa gulung untuk fiksasinya)
17.  Atur tetesan infus sesuai program dan tulis tanggal pemasangan, kolf, tetesan, jam habis,dan campuran obat bila ada.
18.  Observasi respon pasien.
19.  Bereskan alat dan kembalikan pada tempatnya dalam keadaan bersih
20.  Cuci tangan
21.  Mencatat kegiatan dalam lembar catatan keperawatan

Tahap Terminasi
  1. Observasi terhadap kondisi umumvital sign, keluhan nyeri, alergi
  2. Observasi  kelancaran tetesan dan jumlah tetesan
  3. Observasi area insersi  (warna kulit / pembengkakan/ sakit)
  4. Berikan KIE pada pasien/keluarga bila terjadi ketidaknyamanan

Rabu, 05 Desember 2012

Gambaran Pengetahuan PasienTentang Penyakit Tuberkulosis Paru

ABSTRAK

Tubrkulosis Paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh mycobacterium Tuberkulosa. Tuberkulosis Paru menduduki ranking ketiga sebagai penyebab kematian di Indonesia. Bardasarkan data Medical Record Rumah Sakit Umum Daerah Sekayu penderita TB Paru setiap tahun mengalami peningkatan. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gamabaran pengetahuan pasien tentang Tuberkulosis Paru di poliklinik Paru RSUD Sekayu.


Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan meggunakan tehnik accidental sampling. Data yang digunakan adalah data primer dengan menggunakan kuesioner dan data sekunder yang diperoleh dari RSUD Sekayu. Responden yang diteliti adalah pasien yang berkunjung ke Poliklinik Paru RSUD sekayu. Waktu pelaksanaan penelitian selama 6 minggu (12 April – 21 Mei 2010).

Hasil penelitian yang diperoleh bahwa pasien sebagian besar mempunyai kategori tingkat pengetahuan kurang sebanyak 42% sedangkan kategori baik sebanyak 26,1% dan kategori cukup sebanyak 31,9%

Saran yang dapat diberikan setelah penelitian dilakukan adalah Perlu diupayakan peningkatan program promosi kesehatan atau penyuluhan kesehatan tentang penyakit Tuberkulosis Paru kepada masyarakat agar dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penyakit Tuberkulosis Paru. Diharapkan bagi Rumah Sakit perlu menghimbau dan mengadakan penyuluhan tentang penyakit Tuberkulosis Paru yang berkelanjutan kepada pasien saat mereka berobat, sehingga pasien lebih mengenal, dan mengetahui cara penularan dan pengobatan Tuberkulosis Paru.


Download file PDF nya:
               1. Bab I - IV
               2. BabV
               3. Bab VI
               4. Bab VII

Jumat, 30 November 2012

Memberikan Obat dengan Prinsip 8B 1W




Obat adalah semua zat baik dari alam (hewan maupun tumbuhan) atau kimiawi yang dalam takaran (dosis) yang tepat atau layak dapat menyembuhkan, meringankan atau mencegah penyakit atau gejala-gejalanya. Pemberian obat merupakan salah satu tugas perawat yang sangat penting dalam melaksanakan asuhan keperawatan terhadap pasien. Dalam pemberian obat ini sebagai perawat harus sangat diperhatikan beberapa prinsip dalam pemberian obat

Berikut ini adalah prinsip pemberian obat dengan Prinsip 8B 1W

1. Benar Pasien

Sebelum obat diberikan, periksa dulu nama pasien, no RM (medical record), ruang tempat pasien dirawat, catatan pemberian obat / kartu obat. Jika pasien dalam keadaan tidak sadar atau bayi bisa dicek melalui gelang identitas, pasien gangguan mental bisa ditanyakan langsung pada keluarganya.

2. Benar Obat

Memastikan bahwa nama dagang sesuai dengan nama generik obat atau kandungan obat, jika kita tidak yakin dengan nama dagang obat bisa ditanyakan nama generiknya atau kandungan obat pada apoteker. Sebelum memberi obat kepada pasien, label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali. Pertama saat membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat, kedua label botol dibandingkan dengan obat yang diminta, ketiga saat dikembalikan ke rak obat. Jika labelnya tidak terbaca, isinya tidak boleh dipakai dan harus dikembalikan ke bagian farmasi.

3. Benar Dosis

Memastikan dosis yang diberikan sesuai dengan instruksi dokter dan catatan pemberian obat. Jika ragu, perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau apoteker sebelum diberikan ke pasien. Sebaiknya gunakan dosis dalam gram bukan dalam ampul. Misalnya 3 × 4 mg bukan 3 × 1 amp.

4. Benar Waktu

Periksa waktu pemberian obat sesuai dengan waktu yang tertera pada catatan pemberian obat, misalnya obat diberikan 2 kali sehari maka catatan pemberian obat akan tertera waktu pemberian misalnya jam 6 pagi dan 6 sore. Perhatikan apakah obat diberikan sebelum atau sesudah makan.

5. Benar Cara / Rute

Memeriksa label obat untuk memastikan obat tersebut dapat diberikan sesuai cara yang diinstruksikan dan periksa pada label cara pemberian obat . Misalnya oral, parenteral, topikal, rektal, inhalasi, IV, IM, SC maupun IC.

6. Benar Dokumentasi

Setelah obat itu diberikan, harus didokumentasikan, dosis, cara, waktu dan oleh siapa obat itu diberikan. Bila pasien menolak meminum obat atau tidak dapat diminum harus dicatat dalam sebuah pernyataan penolakan pasien dan dilaporkan.

7. Benar Expired/Kadaluwarsa

Harus diperhatikan expired date / masa kadaluwarsa obat yang akan diberikan.Biasanya pada ampul atau etiket tertera kapan obat tersebut kadaluwarsa. Perhatikan perubahan warna (dari bening menjadi keruh), tablet menjadi basah /bentuknya rusak.

8. Benar Informasi

Pasien harus mendapatkan informasi yang benar tentang obat yang akan diberikan sehingga tidak ada lagi kesalahan dalam pemberian obat.

9. Waspada Efek samping

Sebagai perawat kita harus mengetahui efek samping dari obat yang akan kita berikan. Sehingga kita lebih berhati -hati terhadap obat yang akan kita berikan ke pasien.



Senin, 03 September 2012

Prosedur Tindakan Injeksi Subcutan




Pengertian Injeksi Subkutan
Injeksi Subkutan atau sering disingkat SC (subcutaneus) adalah memberikan obat melalui injeksi di bawah kulit yang dilakukan pada lengan atas daerah luar, kaki bagian atas, dan daerah sekitar pusat.

Tujuan Injeksi Subkutan
Agar obat dapat menyebar dan diserap secara perlahan-lahan (contoh: Vaksin, uji tuberculin)

Prosedur Injeksi Subkutan
1.      Lakukan verifikasi program terapi ( benar pasien, obat, dosis, waktu, tempat injeksi ).
2.      Siapkan Alat.
·         Spuit 1 cc dengan jarum 24G
·         Kapas alkohol 70%
·         Perlak
·         Obat yang dibutuhkan
·         Bengkok
·         Sarung tangan bersih
·         Catatan pemberian obat injeksi
·         Alat tulis

3.      Cuci tangan.
4.      Beri salam dan jelaskan tindakan yang akan dikerjakan pada pasien / keluarga.
5.      Pakai sarung tangan bersih.
6.      Masukkan obat ke dalam spuit sesuai program dokter.
7.      Perhatikan prinsip 8 Benar 1W (8B1W).
8.      Tentukan daerah yang akan diinjeksi dan lakukan desinfeksi dengan kapas alkohol.
9.      Masukkan jarum dengan posisi 90° bila memakai jarum kecil (panjangnya 1 cm), atau dibawah 45° bila memakai jarum yang lebih panjang.
10.  Lakukan aspirasi dan pastikan jarum tidak masuk ke pembuluh darah.
11.  Masukkan obat dengan perlahan-lahan.
12.  Observasi kondisi/reaksi pasien.
13.  Cabut jarum dan desinfeksi kulit dengan alkohol.
14.  Rapikan pasien dan alat-alat.
15.  Buka sarung tangan.
16.  Cuci tangan.
17.  Dokumentasikan pada catatan pemberian obat injeksi.

Perhatian:
1.      Jangan menginjeksi pada tempat dimana ada bekas jaringan yang terluka atau tempat dimana terjadi edema.
2.      Sebelum memberi obat,tanyakan riwayat pemberian obat sebelumnya, apakah pernah alergi dengan obat tertentu.
3.      Bila pasien mempunyai riwayat alergi terhadap obat tertentu, tulis nama obat pada catatan alergi obat.

Prosedur Pengambilan Darah Vena






Pengertian
Suatu tahapan dalam pengambilan darah melalui vena pasien untuk keperluan pemeriksaan laboratorium.

Tujuan
1. Pemeriksaan darah.
2. Membantu menegakkan diagnosa.

Prosedur
1.        Lakukan verifikasi program pemeriksaan.
2.        Persiapan Alat :
•    Spuit lengkap dengan jarum steril.
•    Kapas alkohol 70%.
•    Tabung darah (periksa jenis pemeriksaan yang menggunakan antikoagulan)
•    Perlak/Pengalas.
•    Torniquet.
•    Bengkok.
•    Sarung tangan bersih.
•    Plester/hypapix dan gunting
3.       Cuci tangan
4.       Beri salam, jelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada pasien / keluarga.
5.       Pakai sarung tangan bersih.
6.       Tentukan lokasi ( vena ).
7.       Letakkan perlak kecil dibawah tangan /  lokasi yang akan ditusuk.
8.       Pasang tourniquet 3-4 cm di atas tempat yang akan ditusuk
9.       Lakukan palpasi pada vena, kemudian desinfeksi lokasi yang akan ditusuk, biarkan kulit untuk mengering.
10.   Tusukkan jarum, arah tajam ke atas membentuk sudut 30-40 derajat.
11.    Torniquet dilepas.
12.   T arik plunger untuk mengaspirasi sejumlah darah yang diperlukan.
13.    Saat mencabut jarum, berikan tekanan pada tempat tusukan dengan kapas alkohol sampai perdarahan berhenti dan fiksasi dengan plester.
14.   Lepas jarum dari spuit (jarum 23 G, 24 G)
15.   Masukkan darah ke dalam tabung darah.
16.   Observasi kondisi pasien, kemungkinan perdarahan dari tempat tusukan, dan jelaskan prosedur telah selesai.
17.   Bereskan peralatan dan kembalikan pada tempatnya.
( Jarum dan syring dibuang pada wadah limbah medis tajam untuk dihancurkan)
18.   Lepas sarung tangan.
19.   Mencuci tangan.
20.   Mencatat dalam buku pemeriksaan dan pada label tabung pemeriksaan yang akan dikirim.

Askep Gastritis









Pengertian Gastritis

Gastritis adalah peradangan pada mukosa lambung yang dapat bersifat akut kronik, difus atau lokal (Soepaman, 1998).
Gastritis adalah inflamasi dari mukosa lambung (Arif Mansjoer, 1999).
Gastritis adalah radang mukosa lambung (Sjamsuhidajat, R, 1998).
Gastritis merupakan suatu keadaan peradangan atau perdarahan mukosa lambung yang dapat bersifat akut, kronis, difus atau lokal (Patofisiologi, Sylvia A Price hal 422)
Berdasarkan pengertian di atas penulis menyimpulkan bahwa Gastritis merupakan inflamasi mukosa lambung yang dapat bersifat akut, kronik, difus atau lokal.

Epidemiologi / Insiden Kasus Gastritis

Gastritis merupakan salah satu penyakit yang paling banyak dijumpai diklinik Penyakit Dalam ( IPD jilid II Edisi 3).
Gastritis akut merupakan penyakit yang sering ditemukan biasanya jinak dan dapat sembuh sendiri (Patofisiologi Sylvia & Wilson) dan ± 80 – 90% yang dirawat di ICU menderita gastritis akut.

Etiologi Gastritis

Penyebab dari Gastritis dapat dibedakan sesuai dengan klasifikasinya sebagai berikut :
  • Gastritis Akut
Penyebabnya adalah obat analgetik, anti inflamasi terutama aspirin (aspirin yang dosis rendah sudah dapat menyebabkan erosi mukosa lambung).
Bahan kimia misal : lisol, alkohol, merokok, kafein lada, steroid dan digitalis.
  • Gastritis Kronik
Penyebab dan patogenesis pada umumnya belum diketahui.
Gastritis ini merupakan kejadian biasa pada orang tua, tapi di duga pada peminum alkohol, dan merokok.

Manifestasi Klinik Gastritis

1.  Gastritis Akut
yaitu Anorexia, mual, muntah, nyeri epigastrium, perdarahan saluran cerna pada hematemesis melena, tanda lebih lanjut yaitu anemia.
2.   Gastritis Kronik
Kebanyakan klien tidak mempunyai keluhan, hanya sebagian kecil mengeluh nyeri ulu hati, anorexia, nausea, dan keluhan anemia dan pemeriksaan fisik tidak di jumpai kelainan.

Patofisiologi  Gastritis

•    Gastritis Akut
Zat iritasi yang masuk ke dalam lambung akan mengiitasi mukosa lambung.
Jika mukosa lambung teriritasi ada 2 hal yang akan terjadi :
1.   Karena terjadi iritasi mukosa lambung sebagai kompensasi lambung. Lambung akan meningkat sekresi mukosa yang berupa HCO3, di lambung HCO3 akan berikatan dengan NaCl sehingga menghasilkan HCI dan NaCO3.
Hasil dari penyawaan tersebut akan meningkatkan asam lambung. Jika asam lambung meningkat maka akan meningkatkan mual muntah, maka akan terjadi gangguan nutrisi cairan & elektrolit.
2.   Iritasi mukosa lambung akan menyebabkan mukosa inflamasi, jika mukus yang dihasilkan dapat melindungi mukosa lambung dari kerusakan HCL maka akan terjadi hemostatis dan akhirnya akan terjadi penyembuhan tetapi jika mukus gagal melindungi mukosa lambung maka akan terjadi erosi pada mukosa lambung. Jika erosi ini terjadi dan sampai pada lapisan pembuluh darah maka akan terjadi perdarahan yang akan menyebabkan nyeri dan hypovolemik.
•    Gastritis Kronik
Gastritis kronik disebabkan oleh gastritis akut yang berulang sehingga terjadi iritasi mukosa lambung yang berulang-ulang dan terjadi penyembuhan yang tidak sempurna akibatnya akan terjadi atrhopi kelenjar epitel dan hilangnya sel pariental dan sel chief. Karena sel pariental dan sel chief hilang maka produksi HCL. Pepsin dan fungsi intinsik lainnya akan menurun dan dinding lambung juga menjadi tipis serta mukosanya rata, Gastritis itu bisa sembuh dan juga bisa terjadi perdarahan serta formasi ulser.

Komplikasi Gastritis

1.   Komplikasi yang timbul pada Gastritis Akut, yaitu perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) berupa hemotemesis dan melena, berakhir dengan syock hemoragik, terjadi ulkus, kalau prosesnya hebat dan jarang terjadi perforasi.
2.   Komplikasi yang timbul Gastritis Kronik, yaitu gangguan penyerapan vitamin B 12, akibat kurang pencerapan, B 12 menyebabkan anemia pernesiosa, penyerapan besi terganggu dan penyempitan daerah antrum pylorus.

Penatalaksaan Medik Gastritis

1.   Gastritis Akut
Pemberian obat-obatan H2 blocking (Antagonis reseptor H2). Inhibitor pompa proton, ankikolinergik dan antasid (Obat-obatan ulkus lambung yang lain). Fungsi obat tersebut untuk mengatur sekresi asam lambung.
2.  Gastritis Kronik
Pemberian obat-obatan atau pengobatan empiris berupa antasid, antagonis H2 atau inhibitor pompa proton.


Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gastritis
(Askep Gastritis)

Pengkajian Keperawatan pada Askep Gastritis

1.   Faktor predisposisi dan presipitasi
Faktor predisposisi adalah bahan-bahan kimia, merokok, kafein, steroid, obat analgetik, anti inflamasi, cuka atau lada.
Faktor presipitasinya adalah kebiasaan mengkonsumsi alcohol dan rokok, penggunaan obat-obatan, pola makan dan diet yang tidak teratur, serta gaya hidup seperti kurang istirahat.
2.  Test dignostik
  • Endoskopi : akan tampak erosi multi yang sebagian biasanya berdarah dan letaknya tersebar.
  • Pemeriksaan Hispatologi : akan tampak kerusakan mukosa karena erosi tidak pernah melewati mukosa muskularis.
  • Pemeriksaan radiology.
  • Pemeriksaan laboratorium.
  • Analisa gaster : untuk mengetahui tingkat sekresi HCL, sekresi HCL menurun pada klien dengan gastritis kronik.
  • Kadar serum vitamin B12 : Nilai normalnya 200-1000 Pg/ml, kadar vitamin B12 yang rendah merupakan anemia megalostatik.
  • Kadar hemagiobi, hematokrit, trombosit, leukosit dan albumin.
  • Gastroscopy.
Untuk mengetahui permukaan mukosa (perubahan) mengidentifikasi area perdarahan dan mengambil jaringan untuk biopsi.

Diagnosa Keperawatan pada Askep Gastritis

1. Resti gangguan keseimbangan volume cairan dan elektrolit kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat, muntah.
2. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat, anorexia.
3.  Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan inflamasi mukosa lambung.
4.  Keterbatasan aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
5.  Kurang pengetahuan tentang penyakit berhubungan dengan kurangnya informasi.

Intervensi Keperawatan pada Askep Gastritis
Diagnosa Keperawatan 1. : Resti gangguan keseimbangan volume cairan dan elektrolit kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat, muntah.
Tujuan :
Resti gangguan keseimbangan cairan tidak terjadi.
Kriteria Hasil :
Membran mukosa lembab, turgor kulit baik, elektrolit kembali normal, pengisian kapiler berwarna merah muda, tanda vital stabil, input dan output seimbang.
Intervensi :
Kaji tanda dan gejala dehidrasi, observasi TTV, ukur intake dan out anjurkan klien untuk minum ± 1500-2500ml, observasi kulit dan membran mukosa, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian cairan infus.

Diagnosa Keperawatan 2. : Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat, anorexia.
Tujuan
Gangguan nutrisi teratasi.
Kriteria Hasil :
Berat badan stabil, nilai laboratorium Albumin normal, tidak mual dan muntah BB dalam batas normal, bising usus normal.
Intervensi :
Kaji intake makanan, timbang BB secara teratur, berikan perawatan oral secara teratur, anjurkan klien makan sedikit tapi sering, berikan makanan dalam keadaan hangat, auskultasi bising usus, kaji makanan yang disukai, awasi pemeriksaan laboratorium misalnya : Hb, Ht, Albumin.

Diagnosa Keperawatan 3. : Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan inflamasi mukosa lambung.
Tujuan :
Nyeri dapat berkurang/hilang.
Kriteria Hasil :
Nyeri hilang/terkontrol, tampak rileks dan mampu tidur/istirahat, skala nyeri menunjukkan angka 0.
Intervensi :
Kaji skala nyeri dan lokasi nyeri, observasi TTV, berikan lingkungan yang tenang dan nyaman, anjurkan tekhnik relaksasi dengan nafas dalam, lakukan kolaborasi dalam pemberian obat sesuai dengan indikasi untuk mengurangi nyeri.

Diagnosa Keperawatan 4. : Keterbatasan aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
Tujuan :
Keterbatasan aktifitas teratasi.
Kriteria Hasil :
K/u baik, klien tidak dibantu oleh keluarga dalam beraktifitas.
Intervensi :
Tingkatkan tirah baring atau duduk, berikan lingkungan yang tenang dan nyaman, batasi pengunjung, dorong penggunaan tekhnik relaksasi, kaji nyeri tekan pada gaster, berikan obat sesuai dengan indikasi.

Diagnosa Keperawatan 5. : Kurang pengetahuan tentang penyakit berhubungan dengan kurangnya informasi.
Tujuan :
Kurang pengetahuan teratasi.
Kriteria Hasil :
Klien dapat menyebutkan pengertian, penyebab, tanda dan gejala, perawatan, pencegahan dan pengobatan.
Intervensi :
Kaji tingkat pengetahuan klien, beri pendidikan kesehatan (penyuluhan) tentang penyakit, beri kesempatan klien atau keluarga untuk bertanya, beritahu tentang pentingnya obat-obatan untuk kesembuhan klien.

Evaluasi Keperawatan pada Askep Gastritis

Evaluasi pada klien dengan Gastrtitis, yaitu :
1.  Keseimbangan cairan dan elektrolit teratasi
2.  Kebutuhan nutrisi teratasi
3.  Gangguan rasa nyeri berkurang
4.  Klien dapat melakukan aktifitas
5.  Pengetahuan klien bertambah.


Daftar Pustaka
 
Doengoes M.E. (2000), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3 . EGC. Jakarta.
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin asih, Jakarta : EGC, 2002.
Wilkinson, Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC, 2007