Minggu, 30 Desember 2012

Gambaran Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik oleh Perawat pada Klien Halusinasi



Krisis multi dimensi telah mengakibatkan tekanan berat pada sebagian besar masyarakat dunia umumnya dan Indonesia pada khususnya, masyarakat yang mengalami krisis ekonomi tidak saja akan mengalami gangguan fisik, terserang berbagai penyakit infeksi, tetapi juga dapat mengalami gangguan kesehatan psikiatri, yang pada akhirnya mengalami penurunan produktifitas kerja, kualitas hidup secara nasional, negara telah dan akan kehilangan generasi sehat yang akan meneruskan perjuangan dan cita-cita bangsa (Hawari 2001).
World Health Organization (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai suatu keadaan sempurna baik fisik, mental, sosial tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan. Yang dimaksud keadaan sempurna mental adalah keadaan yang sempurna secara biopsikososial, dan seseorang yang sehat mental dapat menyesuaikan diri secara konstruktif dengan kenyataan, memperoleh kepuasan dalam usaha/ perjuangan hidup, lebih puas memberi daripada menerima, bebas dari kecemasan/ ketegangan, berhubungan dengan orang lain: tolong menolong dan saling memuaskan, menerima kekecewaan sebagai pelajaran, mengerahkan rasa permusuhan menjadi penyelesaian kreatif dan konstruktif, dan mempunyai rasa kasih sayang yang besar (Hadiseputro, 2002).
Data yang diperoleh Badan Kesehatan Dunia menunjukkan 10 % dari populasi penduduk dunia membutuhkan pertolongan atau pengobatan bidang kesehatan jiwa/psikiatri. Bahkan menurut Studi World (2003) dibeberapa negara 8,1% dari penyakit akibat beban globalisasi (global burden disease) disebabkan oleh masalah kesehatan jiwa (Rasmun, 2001).
Menurut Undang-undang Kesehatan RI No 23 tahun 1992, sehat didefinisikan sebagai keadaan sejahtera dari badan jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Masalah sosial ekonomi yang dihadapi akan berdampak secara khusus pada kehidupan keluarga/ masyarakat, seperti pembagian peran suami istri, pengasuhan serta pendidikan.
Berkaitan dengan kompleksnya masalah yang dihadapi, memungkinkan memberi dampak negatif terhadap kesehatan mental. Masalah kesehatan mental yang timbul dapat diakibatkan oleh kondisi fisik, sifat pembawaan atau dapat disebabkan oleh faktor lingkungan seperti kondisi keluarga, lingkungan sekolah, pola pengasuhan dan lain-lain. Salah satu gangguan yang dapat muncul akibat kondisi-kondisi tersebut adalah gangguan jiwa; Skizofrenia (Nelson S. 1996 : 185).
Hasil Survei Kesehatan Mental Rumah Tangga (SKMRT) tahun 1995 yang dilakukan oleh jaringan epidemiologi psikiatri Indonesia menemukan 185 dari 1000 penduduk menunjukkan gejala gangguan jiwa. Hal ini berarti bahwa tiap rumah tangga mempunyai satu gangguan jiwa, mulai dari yang paling ringan hingga yang paling berat tingkat ganggaun kesehatan jiwanya. Dari sekian banyak masalah kesehatan jiwa, masalah yang dirasakan cukup berat dan memiliki prevalansi cukup tinggi dibanding kesehatan jiwa lainnya adalah masalah skizofrenia (Ilmawati dan Muslim, 2004).
Pada skizofrenia terdapat gejala-gejala berupa gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif terdiri dari waham, perilaku halusinasi, kekacauan proses pikir, gaduh gelisah, waham grandia, kecurigaan dan permusuhan. Gejala negatif meliputi afek tumpul, kemiskinan laporan, penarikan emosional,  penarikan diri dari hubungan sosial secara pasif/ apatis, kesulitan dalam pemikiran abstrak, kurangnya spontanitas dan arus percakapan serta pemikiran stereotip.
Skizofrenia memerlukan penanganan dari berbagai pelayanan terutama pelayanan keperawatan. Sebagai konsep tindakan keperawatan yang telah dikembangkan oleh para ahli adapun tindakan-tindakan keperawatan tersebut adalah tindakan yang berdasarkan permasalahan bio-sosio-spiritual, tindakan keperawatan tersebut juga terkait erat adanya komunikasi terapeutik antara perawat dan pasien (Keliat BA, 2002)
Hubungan antara perawat dengan pasien lebih dari sekedar mutual partnership. Hubungan ini merupakan sebuah proses dimana perawat sebagai helper (penolong) mengintervensi kehidupan pasien dan membantu pasien untuk meningkatkan kualitas hidupnya (Potter dan Perry, 1993).
Abraham (1997) menyatakan bahwa semua interaksi melibatkan komunikasi. Stuart dan Sundeen (1995) juga menyatakan bahwa dalam menjalin hubungan terapeutik (berinteraksi) dengan pasien diperlukan komunikasi, karena komunikasi adalah hubungan itu sendiri, dimana tanpa komunikasi tersebut hubungan tidak mungkin terjadi. Komunikasi adalah sarana yang sangat efektif dalam memudahkan perawat membangun suatu interaksi dengan pasien sehingga dapat melaksanakan peran dan fungsi dengan baik (Stuart dan Sundeen:1995)
Dengan adanya komunikasi terapeutik antara perawat dan pasien halusinasi yang merupakan prinsip dasar dalam merawat pasien, dimana perawat senantiasa memberikan stimulus verbal dan non verbal yang konstruktif dalam berhubungan dengan pasien. Dalam hubungan ini perawat memakai diri sendiri dan tekhnik pendekatan yang khusus dalam bekerja dengan pasien untuk memberikan pengertian dan merubah perilaku pasien dan mambantu pasien untuk mengungkapkan permasalahan yang ada pada diri pasien dan mampu menetapkan serta menguji realias. Berkaitan dengan penerapan tahapan komunikasi terapeutik, tenaga keperawatan telah memahami dan mampu menerapkan tahap-tahap proses komunikasi terapeutik kepada klien gangguan jiwa.


selengkapnya download disini: BAB I      BAB II     BAB III     BAB IV

Selasa, 25 Desember 2012

Teh dan Madu Bakalan Menggantikan Antibiotik




Fenomena resistensi kuman terhadap antibiotik yang kian mengkhawatirkan kembali disuarakan para pakar kesehatan. Resep pengobatan tradisional seperti teh dan madu dipersiapkan sebagai salah satu solusi alternatif dalam mengatasi kuman yang semakin kebal terhadap obat-obatan.

Penggunaan antibiotik yang tidak rasional dan berulang-ulang merupakan penyebab terbesar suatu jenis bakteri menjadi resisten terhadap obat. Pakar kedokteran menyebut fenomena yang mengkhawatirkan ini dengan istilah “arms race”.

Ketidakmampuan suatu obat antiobiotik mengatasi bakteri kini menjadi momok setelah ditemukannya antibiotik pada tahun 1940-an. Kehadiran antibiotik sempat menjadi solusi yang efektif dalam mengobati penyakit yang disebabkan oleh bakteri. Namun ketika bakteri sudah menjadi resisten terhadapnya, dibutuhkan alternatif lain yang dapat membuat pengobatan menjadi kembali efektif.

Prof. Les Baillie, dari Cardiff University Inggris menyatakan, bukan mustahil dunia akan kembali ke suatu masa dimana belum ditemukan antibiotik, sehingga pengobatan sejenis penyakit menjadi permasalahan besar.

Oleh karenanya, para ilmuwan kini sedang mengupayakan membuat suatu sulosi alternatif ketika bakteri sudah menjadi resisten terhadap antibiotik. Baillie saat ini mengetuai tim riset untuk mencari tahu apakah obat kuno seperti teh dan madu dapat menjadi cara berikutnya sebagai obat yang paling efektif mengobati penyakit.

Teh diketahui mengandung suatu senyawa yang dinamakan polifenol yang memiliki kemampuan membunuh mikroorganisme.

Tim peneliti yang dipimpin Baillie telah menemukan, teh mampu untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh Clostridium difficile, bakteri yang bertanggung jawab untuk setidaknya 2.000 orang tewas dan lebih dari 24.000 kasus infeksi tahun lalu.

Rhidian Morgan-Jones, seorang ahli bedah dari Cardiff, mengatakan bahwa ada kekhawatiran nyata tentang masa depan dunia kedokteran saat antibiotik tidak lagi dapat digunakan.

Prof. David Livermore, dari Badan Perlindungan Kesehatan Inggris, bulan lalu memberi peringatan, operasi besar dan penanganan kanker akan menjadi lebih berbahaya lagi. Penggunaan antibiotik kemungkinan hanya akan bisa dilakukan untuk 10 tahun ke depan.

Perkembangan dunia kedokteran modern seperti perawatan intensif dan transplantasi organ akan berada di bawah ancaman tanpa antiobiotik. Oleh karenanya, segera dibutuhkan pengganti antibiotik.


Sumber : Kompas

Jumat, 21 Desember 2012

Gambaran Pengetahuan dan Sikap Ibu Tentang Penyakit Diare

ABSTRAK

Gambaran Pengetahuan Dan Sikap Ibu Tentang Penyakit Diare Pada Balita Di Desa Lumpatan Kecamatan Sekayu Kabupaten Musi Banyuasin Tahun 2010


(xvii + 54 halaman+ 5 tabel+ 1 skema + 6 lampiran)


Diare masih merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak-anak di berbagai negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Di Indonesia di laporkan terdapat 1,6 sampai 2 kejadian diare per tahun pada balita, sehinggan secara keseluruhan diperkirakan kejadian diare pada balita berkisar 40 juta setahun dengan kematian sebanyak 200.000-400.000 balita. Berdasarkan hasil rekapitulasi data DKP Sumsel jumlah penderita diare pada tahun 2007 berjumlah 48.000 penderita dan pada tahun 2008 terhitung per januari hingga 31 September 2008 penderita diare mencapai 143.822 jiwa. Sedangkan untuk wilayah Kabupaten Musi Banyuasin pada umumnya dan di wilayah kerja Puskesmas Lumpatan Kecamatan Sekayu khususnya jumlah penderita diare mencapai 1.335 jiwa dan 619 diantaranya adalah balita di sepanjang tahun 2009. Banyak faktor yang mempengaruhi tingginya angka tersebut, diantaranya adalah pengetahuan dan sikap ibu.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran dan sikap ibu tentang penyakit diare pada balita di Desa Lumpatan Kecamatan Sekayu Kabupaten Musi Banyuasin. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan meggunakan tehnik purposive sampling. Data yang digunakan adalah data primer dengan menggunakan kuesioner dan data sekunder yang diperoleh dari instansi kesehatan terkait. Responden yang diteliti adalah ibu-ibu yang memiliki balita yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas Lumpatan Kecamatan Sekayu Kabupaten Musi Banyuasin. Waktu pelaksanaan penelitian selama 6 minggu (12 April – 21 Mei 2010).

Hasil penelitian yang diperoleh bahwa sebanyak 45 orang (52,3 %) responden memiliki pengetahuan yang tinggi, sebanyak 34 orang (39,5%) responden memiliki pengetahuan sedang dan sebanyak 7 orang (8,1%) responden memiliki pengetahuan yang kurang, sedangkan responden yang sudah bersikap positif terhadap penyakit diare sebanyak 81 orang (94,2%) dan responden yang sudah bersikap negatif terhadap penyakit diare sebanyak 5 orang (5,8%).

Saran yang dapat diberikan setelah penelitian dilakukan adalah pemberian penyuluhan oleh petugas puskesmas baik secara individual atau kelompok melalui peran serta aktif masyarakat, dan perlu adanya penelitian lebih lanjut terhadap berbagai faktor lainnya yang mempengaruhi kejadian diare pada balita.


Daftar Pustaka : 23 (2000-2010)

          Selengkapnya download di sini:  
1. BAB I    2. BAB II     3. BAB III     4. BAB IV

Kamis, 20 Desember 2012

Prosedur Pemasangan infus



sumber: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhX7lpjYcA-Uh8Q071lh8d-68Ec8laXpuyLbmbUTb2K9eGxwKqO10Gs9REttINYgHznOGfz-jC5TMXr6XPK6jxWEm8thzGhRpFDeoYJuSRE5gTIzmIDap0lOj44uJvryoyy-5ordi-9q00/s1600/Pasang+infus+yang+benar.jpg


Pengertian Memasang Infus
Memasang infus merupakan salah satu cara pemberian terapi cairan melalui pembulih darah vena dengan cara memasukkan jarum abocath ke dalam pembulih darah vena.
Tujuan Memasang Infus:
  • Mempertahankan atau menganti cairan tubuh yang hilang
  • Memperbaiki keseimbangan asam basa di dalam tubuh
  • Memperbaiki komponen darah
  • Tempat memasukkan obat atau terapi intra vena
  • Rehidrasi cairan pada pasien syock
Persiapan Alat:
  • Kapas alkohol
  • Infus Set
  • IV catheter  (abocath) sesuai ukuran
  • Cairan Infus sesuai pesanan
  • Toniquet
  • Sarung tangan bersih
  • Pengalas/perlak
  • Kapas steril
  • Plester
  • Spalk (untuk anak-anak)
  • Kassa gulung (untuk anak-anak)
  • Bengkok
Prosedur Kerja:
1.      Melakukan verifikasi program pengobatan
2.      Mencuci tangan
3.      Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada keluarga/pasien
4.      Mengecek tanggal kadaluarsa: infus, selang infus, catheter vena.
5.      Menusuk saluran infus dengan benar ( jangan diputar ).
6.      Menggantung cairan infus dan mengisi tabung reservoar sebanyak duapertiga bagian /sebatas tanda hingga tidak ada udara dalam selang.
7.      Atur posisi pasien, pasang pengalas, selanjutnya pasang toniquet 5cm dari area insersi.
8.      Lakukan tindakan aseptik dengan kapas alkohol 70% pada vena yang telah dipilih untuk ditusuk dan biarkan selama 15-20 detik
9.      Pertahankan vena pada posisi stabil dengan menekan dan menarik bagian distal vena yang akan diinsersi dengan ibu jari
10.  Menusuk vena dengan sudut 30 derajat dan lubang jarum menghadap ke atas
11.  Setelah dipastikan jarum masuk, turunkan posisi jarum 20 derajat dan tarik mandrin 0,5 cm, masukan catether secara perlahan.
12.  Lepas torniquet dan masukan catheter secara perlahan, sambil menarik jarum keluar
13.  Alirkan infus, selanjutnya lakukan fiksasi antara sayap dan lokasi insersi tanpa menutup lokasi insersi
14.  Letakkan kapas  steril di atas area  insersi.
15.  Lepaskan sarung tangan
16.  Lakukan fiksasi dengan plester (untuk pasien anak-anak beri spalk pada telapak tangan kemudian balut dengan kassa gulung untuk fiksasinya)
17.  Atur tetesan infus sesuai program dan tulis tanggal pemasangan, kolf, tetesan, jam habis,dan campuran obat bila ada.
18.  Observasi respon pasien.
19.  Bereskan alat dan kembalikan pada tempatnya dalam keadaan bersih
20.  Cuci tangan
21.  Mencatat kegiatan dalam lembar catatan keperawatan

Tahap Terminasi
  1. Observasi terhadap kondisi umumvital sign, keluhan nyeri, alergi
  2. Observasi  kelancaran tetesan dan jumlah tetesan
  3. Observasi area insersi  (warna kulit / pembengkakan/ sakit)
  4. Berikan KIE pada pasien/keluarga bila terjadi ketidaknyamanan

Rabu, 05 Desember 2012

Gambaran Pengetahuan PasienTentang Penyakit Tuberkulosis Paru

ABSTRAK

Tubrkulosis Paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh mycobacterium Tuberkulosa. Tuberkulosis Paru menduduki ranking ketiga sebagai penyebab kematian di Indonesia. Bardasarkan data Medical Record Rumah Sakit Umum Daerah Sekayu penderita TB Paru setiap tahun mengalami peningkatan. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gamabaran pengetahuan pasien tentang Tuberkulosis Paru di poliklinik Paru RSUD Sekayu.


Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan meggunakan tehnik accidental sampling. Data yang digunakan adalah data primer dengan menggunakan kuesioner dan data sekunder yang diperoleh dari RSUD Sekayu. Responden yang diteliti adalah pasien yang berkunjung ke Poliklinik Paru RSUD sekayu. Waktu pelaksanaan penelitian selama 6 minggu (12 April – 21 Mei 2010).

Hasil penelitian yang diperoleh bahwa pasien sebagian besar mempunyai kategori tingkat pengetahuan kurang sebanyak 42% sedangkan kategori baik sebanyak 26,1% dan kategori cukup sebanyak 31,9%

Saran yang dapat diberikan setelah penelitian dilakukan adalah Perlu diupayakan peningkatan program promosi kesehatan atau penyuluhan kesehatan tentang penyakit Tuberkulosis Paru kepada masyarakat agar dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penyakit Tuberkulosis Paru. Diharapkan bagi Rumah Sakit perlu menghimbau dan mengadakan penyuluhan tentang penyakit Tuberkulosis Paru yang berkelanjutan kepada pasien saat mereka berobat, sehingga pasien lebih mengenal, dan mengetahui cara penularan dan pengobatan Tuberkulosis Paru.


Download file PDF nya:
               1. Bab I - IV
               2. BabV
               3. Bab VI
               4. Bab VII