Jumat, 13 April 2012

BPH DAN TRANS URETRA RESECTION PROSTATE

A. PENGERTIAN


Benign Prostatic Hyperplasia adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh karena hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar/jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika.



B. ETIOLOGI

Penyebab yang pasti dari terjadinya Benign Prostatic Hyperplasia sampai sekarang belum diketahui secara pasti, tetapi hanya 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya Benign Prostatic Hyperplasia yaitu testis dan usia lanjut. Karena etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga timbulnya Benign Prostatic Hyperplasia antara lain :

1. Hipotesis Dihidrotestosteron (DHT)

Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen akan menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostatmengalami hiperplasia.

2. Ketidak seimbangan estrogen – testoteron

Dengan meningkatnya usia pada pria terjadi peningkatan hormon Estrogen dan penurunan testosteron sedangkan estradiol tetap. yang dapat menyebabkan terjadinya hyperplasia stroma.

3. Interaksi stroma - epitel

Peningkatan epidermal gorwth faktor atau fibroblas gorwth faktor dan penurunan transforming gorwth faktor beta menyebabkan hiperplasia stroma dan epitel

4. Penurunan sel yang mati

Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat.

5. Teori stem cell

Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit.



C. ANATOMI DAN FISIOLOGI PROSTAT

Kelenjar prostat terletak di bawah kandung kemih dan mengelilingi / mengitari uretra posterior dan disebelah proximalnya berhubungan dengan buli-buli, sedangkan bagian distalnya kelenjar prostat ini menempel pada diafragma urogenital yang sering disebut sebagai otot dasar panggul. Kelenjar ini pada laki-laki dewasa kurang lebih sebesar buah kemiri atau jeruk nipis. Ukuran, panjangnya sekitar 4 - 6 cm, lebar 3 - 4 cm, dan tebalnya kurang lebih 2 - 3 cm. Beratnya sekitar 20 gram.

Prostat terdiri dari :

1. Jaringan Kelenjar 50 - 70 %

2. Jaringan Stroma (penyangga)

3. Kapsul/Musculer





Kelenjar prostat menghasilkan cairan yang banyak mengandung enzym yang berfungsi untuk pengenceran sperma setelah mengalami koagulasi (penggumpalan) di dalam testis yang membawa sel-sel sperma. Pada waktu orgasme otot-otot di sekitar prostat akan bekerja memeras cairan prostat keluar melalui uretra. Sel–sel sperma yang dibuat di dalam testis akan ikut keluar melalui uretra.


Jumlah cairan yang dihasilkan meliputi 10–30% dari ejakulasi. Kelainan pada prostat yang dapat mengganggu proses reproduksi adalah keradangan (prostatitis). Kelainan yang lain sepeti pertumbuhan yang abnormal (tumor) baik jinak maupun ganas, tidak memegang peranan penting pada proses reproduksi tetapi lebih berperanan pada terjadinya gangguan aliran kencing. Kelainan yang disebut belakangan ini manifestasinya biasanya pada laki-laki usia lanjut.



D. PATOFISIOLOGI

Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan mengalami hiperplasia, jika prostat membesar akan meluas ke atas (bladder), di dalam mempersempit saluran uretra prostatica dan menyumbat aliran urine. Keadaan ini dapat meningkatkan tekanan intravesikal. Sebagai kompensasi terhadap tahanan uretra prostatika, maka otot detrusor dan buli-buli berkontraksi lebih kuat untuk dapat memompa urine keluar. Kontraksi yang terus-menerus menyebabkan perubahan anatomi dari buli-buli berupa Hipertropi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sekula dan difertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan klien sebagai keluhan pada saluran kencing bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptom/LUTS (Basuki, 2000 : 76).



Pada fase-fase awal dari Prostat Hyperplasia, kompensasi oleh muskulus destrusor berhasil dengan sempurna. Artinya pola dan kualitas dari miksi tidak banyak berubah. Pada fase ini disebut Sebagai Prostat Hyperplasia Kompensata. Lama kelamaan kemampuan kompensasi menjadi berkurang dan pola serta kualitas miksi berubah, kekuatan serta lamanya kontraksi dari muskulus destrusor menjadi tidak adekuat sehingga tersisalah urine di dalam buli-buli saat proses miksi berakhir seringkali Prostat Hyperplasia menambah kompensasi ini dengan jalan meningkatkan tekanan intra abdominal (mengejan) sehingga tidak jarang disertai timbulnya hernia dan haemorhoid puncak dari kegagalan kompensasi adalah tidak berhasilnya melakukan ekspulsi urine dan terjadinya retensi urine, keadaan ini disebut sebagai Prostat Hyperplasia Dekompensata.



Fase Dekompensasi yang masih akut menimbulkan rasa nyeri dan dalam beberapa hari menjadi kronis dan terjadilah inkontinensia urine secara berkala akan mengalir sendiri tanpa dapat dikendalikan, sedangkan buli-buli tetap penuh. Ini terjadi oleh karena uli-buli tidak sanggup menampung atau dilatasi lagi. Puncak dari kegagalan kompensasi adalah ketidak mampuan otot detrusor memompa urine dan menjadi retensi urine. Retensi urine yang kronis dapat mengakibatkan kemunduran fungsi ginjal.



E. TANDA DAN GEJALA

Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benign Prostatic Hyperplasia disebut sebagai Syndroma Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu :

1. Gejala Obstruktif yaitu :

a. Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.

b. Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi.

c. Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.

d. Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.

e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.



2. Gejala Iritasi yaitu :

a. Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.

b. Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.

c. Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.



Derajat Benigna Prostat Hyperplasia

Benign Prostatic Hyperplasia terbagi dalam 4 derajat sesuai dengan gangguan klinisnya;

1) Derajat satu, keluhan prostatisme ditemukan penonjolan prostat 1–2 cm, sisa urine kurang 50 cc, pancaran lemah, necturia, berat + 20 gram.

2) Derajat dua, keluhan miksi terasa panas, sakit, disuria, nucturia bertambah berat, panas badan tinggi (menggigil), nyeri daerah pinggang, prostat lebih menonjol, batas atas masih teraba, sisa urine 50–100 cc dan beratnya + 20–40 gram.

3) Derajat tiga, gangguan lebih berat dari derajat dua, batas sudah tak teraba, sisa urine lebih 100 cc, penonjolan prostat 3–4 cm, dan beratnya 40 gram.

4) Derajat empat, inkontinensia, prostat lebih menonjol dari 4 cm, ada penyulit keginjal seperti gagal ginjal, hydroneprosis.



F. PENATALAKSANAAN

1. Terapi Medikamentosa Pada Benigne Prostat Hyperplasia

Terapi ini diindikasikan pada Benigne Prostat Hyperplasia dengan keluhan ringan, sedang dan berat tanpa disertai penyulit serta indikasi pembedahan, tetapi masih terdapat kontra indikasi atau belum “well motivated”. Obat yang digunakan berasal dari Fitoterapi, Golongan Supressor Androgen dan Golongan Alfa Bloker.

a. Fito Terapi

a) Hypoxis rosperi (rumput)

b) Serenoa repens (palem)

c) Curcubita pepo (waluh )

b. Pemberian obat Golongan Supressor Androgen/anti androgen :

a) Inhibitor 5 alfa reduktase

b) Anti androgen

c) Analog LHRH

d) Pemberian obat Golongan Alfa Bloker/obat penurun tekanan diuretra-rostatika : Prazosin, Alfulosin, Doxazonsin, Terazosin

2. Pembedahan

• Trans Uretral Reseksi Prostat : 90-95 %

• Open Prostatectomy : 5-10 %

BPH yang besar (50-100 gram) yang tidak habis direseksi dalam 1 jam. Disertai Batu Buli Buli Besar (>2,5cm), multiple. Fasilitas TUR tak ada.



3. Indikasi Pembedahan BPH

a. Retensi urine akut

b. Retensi urine kronis

c. Residual urine lebih dari 100 ml

d. BPH dengan penyulit :

• Hydroneprosis

• Terbentuknya Batu Buli

• Infeksi Saluran Kencing Berulang

• Hematuri berat/berulang

• Hernia/hemoroid

• Menurunnya Kualitas Hidup

• Retensio Urine

• Gangguan Fungsi Ginjal

e. Terapi medikamentosa tak berhasil

f. Sindroma prostatisme yang progresif

g. Flow metri yang menunjukkan pola obstruktif

• Flow. Max kurang dari 10 ml

• Kurve berbentuk datar

• Waktu miksi memanjang

h. Kontra Indikasi

• IMA

• CVA akut

Tujuan :

Mengurangi gejala yang disertai dengan obstruksi leher buli-buli

Memperbaiki kualitas hidup.



4. Prostatektomi

Ada berbagai macam prostatektomi yang dapat dilakukan yang masing –

masing mempunyai kelebihan dan kekurangan antara lain :

a. Prostatektomi Supra pubis.

Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Yaitu suatu insisi yang dibuat kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas. Pendekatan ini dilakukan untuk kelenjar dengan berbagai ukuran dan beberapa komplikasi dapat terjadi seperti kehilangan darah lebih banyak dibanding metode yang lain. Kerugian lainnya adalah insisi abdomen akan disertai bahaya dari semua prosedur bedah abdomen mayor, seperti kontrol perdarahan lebih sulit, urin dapat bocor disekitar tuba suprapubis, serta pemulihan lebih lama dan tidak nyaman. Keuntungan yang lain dari metode ini adalah secara teknis sederhana, memberika area eksplorasi lebih luas, memungkinkan eksplorasi untuk nodus limfe kankerosa, pengangkatan kelenjar pengobstruksi lebih komplit, serta pengobatan lesi kandung kemih yang berkaitan.

b. Prostatektomi Perineal.

Adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Cara ini lebih praktis dibanding cara yang lain, dan sangat berguna untuk biopsi terbuka. Keuntungan yang lain memberikan pendekatan anatomis langsung, drainage oleh bantuan gravitasi, efektif untuk terapi kanker radikal, hemostatik di bawah penglihatan langsung,angka mortalitas rendah, insiden syok lebih rendah, serta ideal bagi pasien dengan prostat yang besar, resiko bedah buruk bagi pasien sangat tua dan ringkih. Pada pasca operasi luka bedah mudah terkontaminasi karena insisi dilakukan dekat dengan rektal. Lebih jauh lagi inkontinensia, impotensi, atau cedera rectal dapat mungkin terjadi dari cara ini. Kerugian lain adalah kemungkinan kerusakan pada rectum dan spingter eksternal serta bidang operatif terbatas.

c. Prostatektomi retropubik.

Adalah suatu teknik yang lebih umum dibanding pendekatan suprapubik dimana insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa tanpa memasuki kandung kemih. Prosedur ini cocok untuk kelenjar besar yang terletak tinggi dalam pubis. Meskipun darah yang keluar dapat dikontrol dengan baik dan letak bedah labih mudah untuk dilihat, infeksi dapat cepat terjadi dalam ruang retropubis. Kelemahan lainnya adalah tidak dapat mengobati penyakit kandung kemih yang berkaitan serta insiden hemorargi akibat pleksus venosa prostat meningkat juga osteitis pubis. Keuntungan yang lain adalah periode pemulihan lebih singkat serta kerusakan spingter kandung kemih lebih sedikit.

d. Insisi Prostat Transuretral (TUIP)

Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan instrumen melalui uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi kontriksi uretral.Cara ini diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran kecil (30 gram/kurang) dan efektif dalam mengobati banyakn kasus BPH. Cara ini dapat dilakukan di klinik rawat jalan dan mempunyai angka komplikasi lebih rendah di banding cara lainnya.

e. TURP ( Trans Uretral Reseksi Prostat )

TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra menggunakan resektroskop, dimana resektroskop merupakan endoskop dengan tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang dilengkapi dengan alat pemotong dan counter yang disambungkan dengan arus listrik. Tindakan ini memerlukan pembiusan umum maupun spinal dan merupakan tindakan invasive yang masih dianggap aman dan tingkat morbiditas minimal.

TURP merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak mempunyai efek merugikan terhadap potensi kesembuhan. Operasi ini dilakukan pada prostat yang mengalami pembesaran antara 30-60 gram, kemudian dilakukan reseksi. Cairan irigasi digunakan secara terus-menerus dengan cairan isotonis selama prosedur. Setelah dilakukan reseksi, penyembuhan terjadi dengan granulasi dan reepitelisasi uretra pars prostatika (Anonim,FK UI,1995).

Setelah dilakukan TURP, dipasang kateter Foley tiga saluran no. 24 yang dilengkapi balon 30 ml, untuk memperlancar pembuangan gumpalan darah dari kandung kemih. Irigasi kanding kemih yang konstan dilakukan setelah 24 jam bila tidak keluar bekuan darah lagi. Kemudian kateter dibilas tiap 4 jam sampai cairan jernih. Kateter dingkat setelah 3-5 hari setelah operasi dan pasien harus sudah dapat berkemih dengan lancar.

TURP masih merupakan standar emas. Indikasi TURP ialah gejala-gejala dari sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 60 gram dan pasien cukup sehat untuk menjalani operasi. Komplikasi TURP jangka pendek adalah perdarahan, infeksi, hiponatremia atau retensio oleh karena bekuan darah. Sedangkan komplikasi jangka panjang adalah striktura uretra, ejakulasi retrograd (50-90%), impotensi (4-40%). Karena pembedahan tidak mengobati penyebab BPH, maka biasanya penyakit ini akan timbul kembali 8-10 tahun kemudian.


G. PERIODE PRE OPERATIF

Mengkaji kecemasan klien, mengoreksi miskonsepsi tentang pembedahan dan memberikan informasi yang akurat pada klien

• Type pembedahan

• Jenis anesthesi TUR – P, general / spina anesthesi

• Cateter : folly cateter, Continuous Bladder Irigation (CBI).

Persiapan orerasi lainnya yaitu :

• Pemeriksaan lab. Lengkap : DL, UL, RFT, LFT, pH, Gula darah, Elektrolit

• Pemeriksaan EKG

• Pemeriksaan Radiologi : BOF, IVP, USG, APG.

• Pemeriksaan Uroflowmetri Bagi penderita yang tidak memakai kateter.

• Pemasangan infus dan puasa

• Pencukuran rambut pubis dan lavemen.

• Pemberian Anti Biotik

• Surat Persetujuan Operasi (Informed Concern).



H. PERIODE INTRA OPERATIF

1. Pengelolaan Keamanan:

a. Jaminan penghitungan kasa, jarum, instrumen dan alat lain, cocok untuk pemakaian.

b. Mengatur posisi pasien

• Posisi fungsional

• Membuka daerah untuk operasi

• Mempertahankan posisi selama prosedur.

c. Memasang alat grounding

d. Menyiapkan bantuan fisik

e. Pemantauan fisiologis

• Mengkalkulasi pengaruh terhadap pasien akibat kekurangan cairan

• Membandingkan data normal dan abnormal dari cardiopulmonal.

• Melaporkan perubahan-perubahan tanda-tanda vital (suhu, nadi, tekanan darah dan RR.)

f. Pemantauan psikologi sebelum induksi dan bila pasien sadar

• Menyiapkan bantuan emosional

• Melanjutkan observasi status emosional

• Mengkomunikasikan status emosional pasien kepada anggota tim.

g. Manajemen Keperawatan

• Menyelamatkan keselamatan fisik pasien.

• Mempertahankan aseptis pada lingkungan yang terkendali

• Mengelola dengan efektif sumber daya manusia.



2. Anggota Tim Fase intraoperatif

a. Tim bedah utama steril

• Ahli bedah utama

• Asisten ahli bedah

• Perawat instrumentator.

b. Tim anestesi:

• Ahli anestesi atau pelaksana anestesi

• Circulating nurse

• Lain-lain (tehnisi, ahli aptologi dll.)

c. Tugas perawat instrumentator

a) Persiapan pengadaan bahan-bahan dan alat steril yang diperlukan untuk operasi.

b) Membantu ahli bedah dan asisten bedah waktu melakukan prosedur

c) Pendidikan bagi staf baru yang berkualifikasi bedah

d) Membantu jumlah kebutuhan jarum, pisau bedah, kasa atau instrumen yang diperlukan untuk prosedur, menurut jumlah yang biasa digunakan. Untuk pelaksanaan kegiatan yang efektif perawat instrumen harus memiliki pengetahuan tehnik aseptik yang baik, ketrampilan tangan dan ketangkasan, stamina fisik, tahan terhadap berbagai desakan, sangat menghayati kecermatan dan memperhitungkan prilaku yang menuntaskan asuhan pasien yang optimal.

e) Tugas Perawat Circulating

Perawat keliling memegang peranan dalam keseluruhan pengelolaan ruang operasi, perawat ini dipercaya untuk koordinasi semua aktivitas di dalam ruangan dan harus mengelola asuhan keperawatan yang diperluikan pasien.



I. PERIODE PEMULIHAN PASCA ANESTESI

Trauma bedah dan anestesi mengganggu semua fungsi utama sistem tubuh, tetapi kebanyakan klien mempunyai kemampuan kompensasi untuk memulihkan homeostasis. Namun klien tertentu berisiko lebih tinggi untuk mengalami kompensasi tak efektif terhadap efek merugikan dari pembedahan dan anestesi pada jantung, sirkulasi, pernafasan dan fungsi lain.

Secara Umum Diagnosa Keperawatan yang muncul pada fase/periode pemulihan pasca anrestesi adalah :

a) Resiko terhadap aspirasi yang berhubungan dengan samnolen dan peningkatan sekresi sekunder terhadap intubasi.

b) Ansietas yang berhubungan dengan nyeri sekunder terhadap trauma pada jaringan dan syaraf.

c) Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan samnolen sekunder terhadap anestesia

d) Resiko terhadap hipotermia yang berhubungan dengan pemaparan pada suhu ruang operasi yang dingin.

Kriteria umum syarat pasien dipindahkan dari ruang pemulihan pasca anestesi ke unit perawatan adalah sbb. :

a) Kemampuan memutar kepala

b) Ekstubasi dengan jalan nafas bersih.

c) Sadar, mudah terbangun.

d) Tanda-tanda vital stabil

e) Balutan kering dan utuh

f) Haluaran urine sedikitnya 30 ml/jam.

g) Drain, selang , jalur intravena paten dan berfungsi.

h) Persetujuan ahli anestesi untuk pindah ke ruangan.



J. PERIODE POST OPERATIF

Post operatif care pada dasarnya sama seperti pasien lainnya yaitu monitoring terhadap respirasi, sirkulasi dan kesadaran pasien :

1. Airway: Bebaskan jalan nafas Posisi kepala ekstensi

2. Breathing : Memberikan O2 sesuai dengan kebutuhan Observasi pernafasan

3. Cirkulasi : mengukur tensi, nadi, suhu tubuh, pernafasan, kesadaran dan produksi urine pada fase awal (6jam) paska operasi harus dimonitor setiap jam dan harus dicatat. Bila pada fase awal stabil, monitor/interval bisa 3 jam sekali bila tensi turun, nadi meningkat (kecil), produksi urine merah pekat harus waspada terjadinya perdarahan segera cek Hb dan lapor dokter, tensi meningkat dan nadi menurun (bradikardi), kadar natrium menurun, gelisah atau delir harus waspada terjadinya syndroma TUR segera lapor dokter, bila produksi urine tidak keluar (menurun) dicari penyebabnya apakah kateter buntu oleh bekuan darah terjadi retensi urine dalam buli-buli lapor dokter, spoling dengan PZ tetesan tergantung dari warna urine yang keluar dari urobag. bila urine sudah jernih tetesan spoling hanya maintennens/dilepas dan bila produksi urine masih merah spoling diteruskan sampai urine jernih, bila perlu analisa gas darah apakah terjadi kepucatan, kebiruan. cek lab : Hb, RFT, Na/K dan kultur urine.

a. Pemberian Anti Biotika

• Antibiotika profilaksis, diberikan bila hasil kultur urine sebelum operasi steril. Antibiotik hanya diberikan 1 X pre operasi + 3 – 4 jam sebelum operasi.

• Antibiotik terapeutik, diberikanpada pasien memakai dower kateter dari hasil kultur urine positif. Lama pemberian + 2 minggu, mula-mula diberikan parenteral diteruskan peroral. Setiap melepas kateter harus diberikan ntibiotik profilaksis untuk mencegah septicemia.



b. Perawatan Kateter

Kateter uretra yang dipasang pada pasca operasi prostat yaitu folley kateter 3 lubang (treeway catheter) ukuran 24 Fr.

Ketiga lubang tersebut gunanya :

1. untuk mengisi balon, antara 30 – 40 ml cairan

2. untuk melakukan irigasi/spoling

3. untuk keluarnya cairan (urine dan cairan spoling).



Setelah 6 jam pertama sampai 24 jam kateter tadi biasanya ditraksi dengan merekatkan ke salah satu paha pasien dengan tarikan berat beban antara 2 – 5 kg. Paha ini tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan. Paling lambat pagi harinya traksi harus dilepas dan fiksasi kateter dipindahkan ke paha bagian proximal/ke arah inguinal agar tidak terjadi penekanan pada uretra bagian penosskrotal. Guna dari traksi adalah untuk mencegah perdarahan dari prostat yang diambil mengalir di dalam buli-buli, membeku dan menyumbat pada kateter. Bila terlambat melepas kateter traksi, dikemudian hari terjadi stenosis leher buli-buli karena mengalami ischemia.

Tujuan pemberian spoling/irigasi :

1. Agar jalannya cairan dalam kateter tetap lancar.

2. Mencegah pembuntuan karena bekuan darah menyumbat kateter

3. Cairan yang digunakan spoling H2O / PZ



Kecepatan irigasi tergantung dari warna urine, bila urine merah spoling dipercepat dan warna urine harus sering dilihat. Mobilisasi duduk dan berjalan urine tetap jernih, maka spoling dapat dihentikan dan pipa spoling dilepas. Kateter dilepas pada hari kelima. Setelah kateter dilepas maka harus diperhatikan miksi penderita. Bisa atau tidak, bila bisa berapa jumlahnya harus diukur dan dicatat atau dilakukan roflowmetri.

Sebab-sebab terjadinya retensio urine lagi setelah kateter dilepas :

1. Terbentuknya bekuan darah

2. Pengerokan prostat kurang bersih (pada TUR) sehingga masih terdapat obstruksi.

TUR – P

Setelah TUR – P klien dipasang tree way folley cateter dengan retensi balon 30 – 40 ml. Kateter di tarik untuk membantu hemostasis Intruksikan klien untuk tidak mencoba mengosongkan bladder Otot bladder kontraksi nyeri spasme CBI (Continuous Bladder Irigation) dengan normal salin mencegah obstruksi atau komplikasi lain CBI – P. Folley cateter diangkat 2 – 3 hari berikutnya Ketika kateter diangkat timbul keluhan : frekuensi, dribbling, kebocoran normal Post TUR – P : urine bercampur bekuan darah, tissue debris meningkat intake cairan minimal 3000 ml/hari membantu menurunkan disuria dan menjaga urine tetap jernih.



OPEN PROSTATECTOMY

Resiko post operative bleeding pada 24 jam pertama oleh karena bladder spsme atau pergerakan Monitor out put urine tiap 2 jam dan tanda vital tiap 4 jam Arterial bleeding urine kemerahan (saos) + clotting Venous bleeding urine seperti anggur traction kateter Vetropubic prostatectomy

Observasi : drainage purulent, demam, nyeri meningkat deep wound infection, pelvic abcess Suprapubic prostatectomy

• Perlu Continuous Bladder Irigation via suprapubic klien diinstruksikan tetap tidur sampai Continuous Bladder Irigation dihentikan

• Kateter uretra diangkat hari 3 – 4 post op

• Setelah kateter diangkat, kateter supra pubic di clamp dan klien disuruh miksi dan dicek residual urine, jika residual urine ± 75 ml, kateter diangkat







DIAGNOSA KEPERAWATAN PRE OPERASI

1. Retensio urine) berhubungan dengan obstruksi akibat pembesaran prostat/dekompresi otot detrussor.

2. Nyeri akut berhubungan dengan iritasi mukosa/distensi kandung kencing/kolik renal/infeksi saluran kencing.

3. Cemas berhubungan dengan rencana pembedahan dan kehilangan status kesehatan serta penurunan kemampuan sexual

4. Dysfungsi sexual berhubungan dengan obstrusi perkemihan.

5. Kurang pengetahuan tentang sifat penyakit, tujuan tindakan yang diprogramkan dan pemeriksaan diagnostik berhubungan dengan kurangnya informasi/terbatasnya informasi/informasi yang keliru

6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan sering miksi pada malam hari

7. Resiko injury dan resiko infeksi berhubungan dengan obstruksi perkemihan

8. Resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan Dower Cateter yang lama



DIAGNOSA KEPERAWATAN POST OPERASI

1. PK: perdarahan berhubungan dengan tindakan bedah (reseksi).

2. Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan akibat reseksi

3. Cemas berhubungan dengan proses penyakitnya yang masih dapat kambuh lagi.

4. Retensi urine berhubungan dengan obstruksi saluran kateter oleh bekuan darah/klot.

5. Resiko terjadinya kelebihan volume cairan berhubungan dengan adanya penyerapan cairan irigasi yang berlebihan.





DAFTAR PUSTAKA





Carpenito, Linda Jual. (1995). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan (terjemahan). PT EGC. Jakarta.



Djanalaeoni H. (1977). Aseptik dan Antiseptik. Volume 6. Ropanasuri.



Doenges, et al. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan (terjemahan). PT EGC. Jakarta.



Engram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Volume I (terjemahan). PT EGC. Jakarta.



Hardjowijoto S. Pemeriksaan Sistoskopi. Seksi/Program Studi Urologi Unair.



Hardjowijoto S. (1999) .Benigna Prostatic Hyperplasia. Airlangga University Press. Surabaya



Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Volume I. (terjemahan).Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran. Bandung.



Puruhito. (1989). Tata Kerja Kamar Operasi. Surabaya.



Soeparman. (1990). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. FKUI. Jakarta.



Soesanto Wibowo, Puruhito, Setiono Basuki. Pedoman Teknik Operasi.



Sumartono, M., Gardjito, W., Hardjowijoto, S. (1983). Reseksi Transuretral Pada Hyperplasia Benigna dari Kelenjar Prostat. Bagian ilmu bedah Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.

Tidak ada komentar: